Sejarah yang Tersembunyi, Pangkalan Brandan Lautan Api

Minggu, 16 Oktober 2016

Hari Pangkalan Brandan lautan Api kali ini adalah saat yang pas untuk merenungkan, semangat Laskar Minyak mempertahankan pengelolaan kilang minyak secara mandiri. Sekalipun nama mereka tak pernah terukir dalam sejarah, tak pernah disematkan ‘Bintang Gerilya’ bersudut lima, sebagaimana pahlawan Gerilya lainnya, namun semangat itu layak ditauladani. 

Sayangnya, upaya mandiri secara energi yang ditularkan Laskar Minyak kini pupus sudah. Dari 199 blok di 66 cekungan, hanya 8 blok yang dikuasai perusahaan Negara (Pertamina). Itupun kini nyaris tanpa legitimasi hukum, sejak UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dikeluarkan.

Bila saja perjuangan Laskar Minyak berhasil, bisa jadi Indonesia tak akan pernah mengalami krisis energi.

Hari Pangkalan Brandan Lautan Api adalah saat yang pas untuk merenungkan, semangat Laskar Minyak mempertahankan pengelolaan kilang minyak secara mandiri. Sekalipun nama mereka tak pernah terukir dalam sejarah, tak pernah disematkan ‘Bintang Gerilya’ bersudut lima, sebagaimana pahlawan Gerilya lainnya, namun semangat mereka layak ditauladani. Bila saja perjuangan Laskar Minyak berhasil, bisa jadi Indonesia tak akan pernah mengalami krisis energi.
***

Pertempuran paling menentukan berkobar di Pangkalan minyak Brandan Kabupaten Langkat Sumatra Utara pada tangal 13 Agusutus 1947. Sejarah Nasional mencatat sebagai hari Pangkalan Brandan Lautan Api.

Pangkalan Brandan merupakan lokasi pertama ditemukannya minyak bumi oleh seorang petani tembakau asal Belanda, Aleiko Jans Zijlker, yang kemudian dengan sejumlah koleganya mendirikan perusahaan Minyak dengan nama Royal Dutch atau yang lebih dikenal dengan nama Shell Dutch pada tahun 1885.

Saat Perang Dunia berkecamuk, fasilitas-fasilitas yang ada di Pangkalan Brandan dihancurkan oleh Jepang, di bom oleh Sekutu, serta dihancurkan lagi oleh pasukan Republik.

Setelah beroperasi selama puluhan tahun, Belanda bersama geng Sekutunya, sejak akhir Agustus 1945, secara resmi menyerahkan Pangkalan Brandan pada bangsa Indonesia melalui Jepang. Pemerintah RI menyikapi penyerahan ini dengan membentuk Tambang Minyak Kabupaten Langkat (TMKL) dan Perusahaan Tambang Minyak Sumatra Utara (PTMSU).

Penguasaan Pangkalan Brandan secara mandiri oleh bangsa Indonesia yang disokong Jepang membikin geram Sekutu. Apalagi sumber ekonomi mereka nyaris musnah, seiring perebutan perkebunan secara besar-besaran di wilayah Jawa dan Sumatra.

Melalui Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan ultimatum agar pemerintah RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari daerah perkebunan dan daerah sumber alam, terutama minyak. Mook menyampaikan pidato diberbagai stasiun radio, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Lebih dari 100.000 tentara terlatih, dengan persenjataan modern, lengkap dengan peralatan berat hasil hibah tentara Inggris dan Australia dikerahkan.

Serangan dilakukan disejumlah daerah strategis sejak 20 Juni 1947 hingga 22 Februari 1948 atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda I. Di Jawa Timur, Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah kaya minyak yang dikuasai RI mulai dari Blok Lidah Surabaya hingga blok Cepu dan sejumlah perkebunan Tebu, sebagaimana dilancarkan disepanjang Pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Sumatera Timur, sasaran Belanda adalah daerah perkebunan tembakau, sementara di Sumatra Utara Pangkalan minyak Brandan menjadi sasaran utama. Pertempuran paling sengit berkobar. Laskar Minyak Sumatra Utara yang sebelumnya terorganisir dalam Serikat Buruh Minyak (SBM) TMKL dan PTMSU, di bawah komando Bondan, melakukan perlawanan dengan senjata seadanya.

Guna melumat pertahanan Laskar Minyak, Pemerintah Hindia Belanda mengerahkan dua pasukan khusus, yakni Korps Speciaale Troepen (KST) di bawah komandan Kapten Westerling, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah komando Kapten C. Sisselaar.

Korban berjatuhan dimana mana. Laskar Minyak melakukan perlawanan sengit, seiring serangan brutal yang dilancarkan Belanda. Dua pasukan kusus yang dipimpin komandan tempur berpengalaman itu berhasil memukul mundur Laskar Minyak. Namun sebelum lari ke hutan, Bondan sempat mengintruksikan anak buahnya membakar kilang minyak. Api berkobar membumi hanguskan Pangkalan Brandan. Strategi perang ini belakangan dikenal dengan politik bumi hangus.

Tak ayal, misi Agresi militer Belanda I ke Pangkalan Brandan pupus. Shell mengalami kerugian tak terkira. Padahal sebelumnya, dari Pangkalan ini dan dua pangkalan lain yang berada di Minas dan Rantau (yang dikuasai Caltex dan Stanvac) ketiga perusahaan yang dikenal dengan ”Tiga besar” menjadi penghasil minyak terbesar di kawasan Timur Jauh, dengan produksi sebesar 63 juta barrel per tahun. 13 Agustus 1947 adalah hari dimana Pangkalan Brandan menjadi lautan api.

Politik Perundingan

Menyadari kerugian ekonomi Pangkalan Brandan, dan kekhawatiran merembet ke Pangkalan minyak lain di Minas, Rantau, dan Jawa, Inggris berpura-pura mengecam Agresi Militer Belanda I. Melalui Pemerintahan RI, Inggris membujuk agar mengadukan Agresi Militer ke PBB, dengan alibi melanggar perjanjian Linggarjati. 

Atas dukungan Australia dan Inggris, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi No. 30 tertanggal 15 August 1947 bertajuk The Indonesian Question. Dua hari setelah itu Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk mengakhiri gencatan senjata. Pada tanggal 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan secara resmi membentuk komite yang dilogikan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia) atau lebih dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN), beranggotakan tiga negara, yaitu Australia (diwakili Richard C. Kirby) yang dipilih Indonesia, Belgia (diwakili Paul van Zeeland) yang dipilih Belanda dan Amerika Serikat (diwakili Dr. Frank Graham) sebagai pihak netral.

Sejak itu perlawanan sengit Laskar Minyak memudar. Seperti halnya sejumlah konflik daerah kaya sumber alam yang kerap berujung dimeja perundingan. Pemaknaan Negara Belanda sebagai penjajah harus dibayar mahal dengan penguasaan hampir seluruh ladang minyak oleh AS, Australia, dan Inggris. Sebagai pihak yang dipercaya membantu proses pengakuan Indonesia sebagai bangsa, dimata dunia internasional, ketiga Negara itu dengan leluasa mengkapling ladang-ladang minyak nasional.

Kesadaran akan pentingnya pengolahan minyak secara mandiri yang ditularkan Laskar Minyak kembali terpupuk saat Pemerintah RI mengelaurkan UU No 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak. Dimasa itu perusahaan asing dipaksa menyuplai 53% kebutuhan domestik yang harus disuling negara. Surplus produksi yang dihasilkan asing harus dipasarkan ke luar negeri dan hasilnya diserahkan ke RI.

Perusahaan asing juga wajib menyerahkan fasilitas distribusi dan pemasaran dalam negeri dan biaya prosesnya diambil dari laba ekspor, menyediakan valuta asing yang dibutuhkan untuk biaya pengeluaran dan investasi modal yang dibutuhkan Perusahaan negara, menyuplai kebutuhan minyak tanah dan BBM dalam negeri.

Formula pembagian laba 60% untuk RI dalam mata uang asing dan 40% untuk Caltex dihitung dalam rupiah, menyerahkan 25% area eksplorasi setelah 5 tahun dan 25% lainnya setelah 10 tahun. Sayang, konsepsi ideal ini hanya berjalan kurang dari lima tahun, sebelum pada akhirnya Bung Karno dilengserkan melalui kudeta sistemik pada 1965.